Mandira, akan kau dapati dimana orang-orang baik—beriman dikucilkan, dicemooh, diejek, direndahkan, ditertawakan.
Kau tak percaya? Baiklah Mandira, Meski tulisan ku tak terlalu bagus untuk kau baca, tapi izinkan aku untuk bercerita.
Dua hari lalu aku melihat teman sekelas kita, Naila, berjalan dengan
kerudung panjangnya—menutupi perhiasannya—aurat menuju gedung kuliah
sambil mendekap dua buah buku, gaya khasnya. Awalnya dia nampak seperti
hari biasanya, tapi ketika dia menaiki sebuah tangga, ku dapati
kepalanya tertunduk, wajahnya memerah, langkahnya tiba-tiba dipercepat
memasuki ruang kuliah yang pengap. Sejenak dia termenung, lalu perlahan
mengusap wajahnya sambil merapalkan sesuatu, barangkali terlihat semacam
mantra penenang diri. Bukan tanpa sebab, di tangga itu, Naila,
mendapatkan kata sambutan tak menyenangkan, kata-kata ejekan diakhiri
tawa cemooh dia dapatkan dari beberapa teman yang sedang mengobrol di
tangga itu.
Suasana lokal kala itu terasa beda, sinar matahari
terasa menyengat, bulir-bulir keringat menerjuni dinding-dinding
muka--membasahi wajah, Andi sesekali mengusap wajahnya dengan tisu “duh
panas ya!” katanya, seketika semua mata tertuju padanya. Apa yang
dilakukan Andi bak seperti virus menyebar melalui angin-angin kemalasan,
menular ke sebagian penghuni ruang, gelisah tak menentu, suara-suara
kecil mulai menyeruak.
Pak Budi mengalihkan badannya,
menggeleng-gelengkan kepalanya “diam” katanya tegas, sarat amarah,
matanya tajam. Setelah itu Pak Budi berjalan menuju singgasana para
dosen, sejenak menarik nafasnya lalu mengeluarkannya dengan teratur
“kita sudahi saja kuliah hari ini”, Pak Andi barangkali juga sudah
bosan dengan proses belajar yang membosankan.
Semua girang,
senyum-senyum melirik tetangga sebelah. Memang terkadang kuliah tak
memeberikan pilihan lain selain: mendengar, mencatat, diskusi dan
ulangan.
Ruangan kuliah mulai ditinggalkan penghuninya, aku,
Naila dan beberapa teman yang tak perlu ku sebutkan namanya, terakhir
keluar ruangan.
Naila nampak merapihkan bukunya, lalu berjalan
menyebrang keluar ruangan, seketika aku dapati sekelompok wajah yang
tadinya girang, manis-manis, berubah menjadi raut wajah kebencian,
mulut-mulut liar mulai menerobos batas kewajaran, “katanya ustadzah, gak
boleh pacaran, tapi kemaren boncengan sama cowok, huuuu dasar cewek
munafik”.
“ciisss, percuma aja lu pake jilbab panjang, tapi munafik” timpal teman yang satu lagi diakhiri dengan tawa kebencian.
Naila
terus melangkahkan kaki ke luar ruangan, mengabaikan ocehan mulut-mulut
liar, lalu terlihat merapalkan sesuatu, barangkali bacaan penenang
diri.
Mandira, barangkali masih banyak Naila-Naila lainnya, termasuk kau dan aku.
Oh ya, aku lupa, empat hari yang lalu, Naila bersama dengan kakak laki-lakinya, bukan seperti yang mereka persepsikan.
Mandira,
ketika kau berusaha hidup sesuai dengan ajaran Allah, lihatlah Mandira,
akan kau dapati kata-kata yang barangkali menusuk hatimu, “wis udah
jadi ustadz nih” sambil nyengir, atau “asslmkum ustdzah” dengan nada
cemooh, atau akan kau dapati ketika kau berbicara tentang kebaikan,
”mulailah ceramah” dengan wajah tak senang. Yang terkadang menyakitkan.
Mandira,
Allah telah menjleasakan dalam firman-Nya, bacalah dengan iman “
Sesungguhnya orang-orang berdosa adalah mereka yang menertawakan
orang-orang beriman. Dan apabila orang-orang beriman lalu di hadpan
mereka, mereka saling mengedip-ngedipkan matanya”(Q.S. AL-Muthaffifin:
29-30)
Lihatlah Mandira...
Akan selalu ada orang-orang yang mengusik kenyamanan atas baikmu—iman,
akan selalu ada manusia yang tidak senang dengan kebaikanmu, kemudian
mereka merendahkanmu, mngejekmu dan mencibirmu.
Apakah ini
semacam kutukan? tidak, tepatnya ini sebuah konsekuensi dari jalan yang
kita pilih, bukankah setiap persimpangan yang di pilih menawarakn
kerikil-kerikil tajam, sama halnya dengan setiap pohon yang besar akan
selalu ada badai yang akan menghantamnya, semakin kuat iman-mu maka akan
semakin kencang badai yang akan menerpamu, tapi, berbahagialah, badai
yang datang adalah bukti keimananmu, bukankah Allah telah berkata
“tidaklah beriman seseorang sebelum Aku uji keimanannya...”
Mandira
jika kau merasa lelah dengan sikap mereka, jika kau mulai marah dengan
ejekan mereka, kan ku beri sebuah rahasia untukmu, ikutilah aku,
pejamkan matamu, lalu ucaplah dengan iman “subhanallah walhamdulillah
walailahaillah waulahuakbar” rasakanlah sebuah getaran kedamainn dari
Allah merambat ke hatimu.
Tapi. Mandira, yakin dan percayalah orang-orang baik—beriman tak kan
pernah Allah biarkan berjalan sendiri, yakin dan percayalah Allah selalu
bersama oarang-orang beriman. tetaplah berdiri sebagai orang
baik—beriman. Biarkan Allah yang bertindak atas sikap mereka pada
orang-orang beriman. Itu janji Allah loh.
Terakhir, ikutilah aku,
pejamkan matamu, ini mantra yang ku dapati dari Naila, yang sering dia
rapalkan, ucaplah dengan iman “subhanallah walhamdulillah walailahaillah
waulahuakbar” rasakanlah sesuatu mendesir manja dalam hatimu,
memberikanmu ketengangan, mengusir jauh rasa amarah, kebencian, dendam
dalam hatimu, semua penyakit hati yang dalam hatimu menguap di setiap
hembusan nafasmu.
Ketika terbersit rasa benci, marah, dendam
dalam hatimu, maka ucaplah dengan iman-mu “subhanallah walhamdulillah
walailahaillah waulahuakbar”
rasakanlah sebuah tangan membelai lembut hatimu—memberikan kedamaian.
Selamat mencoba... :-)
Selasa, 14 Maret 2017
Sebuah Konsekuensi
Selasa, 14 Maret 2017
#Cerita
- Kali Dibaca
0 komentar:
Posting Komentar